Senin, 09 Januari 2012

Era Radio Transistor di Sailong


Di Sailong,  pada  sepanjang tahun 80-an hingga awal 90-an, berlangsung sebuah era, yang saya sebut Era Radio Transistor. Penyebutan ini mengacu pada kegandrungan mode komunikasi para warga sailong.  Inilah era transisi menjelang kedatangan era televisi, dan kemudian era telefon seluler yang revolusioner.

Medio 80-an dan awal 90-an adalah era Radio. Dan radio pada jaman itu di Sailong, dapat dijelaskan cukup dengan empat kata; As’adiyah, zainuddin, sandiwara, dangdut.
Dipancarkan di frekuensi AM 864 KHz, As’adiyah adalah gelombang kesejukan nan damai di udara. Mungkin lebih dari 60% siarannya adalah dakwah, konsisten dengan spirit organisasi induknya. Bersaing dengan Radio Bambapuang AM 882 KHz, As’adiyah adalah raja di udara Sailong. Entah karena warga Sailong senang dakwah, atau karena As’adiyah yang paling kuat sinyalnya, yang jelas As’adiyah adalah siaran yang paling banyak didengar.  Radio Suara Damai Indah (SDI) di Bone, yang beroperasi di Frekuensi tinggi 1368 KHz, dengan susah payah menembus atmosfir Sailong. Kurasa karena itulah, ia tidak banyak peminat.
Soal Zainuddin MZ, No question.  Dialah da’i paling kondang seantero nusantara, dia da’i berjuta-juta jumat.  Setidaknya lima kali sehari, radio-radio memancarkan suara ‘Pak Haji’ dan begitu suaranya terdengar di radio, tak ada yang berniat mengganti saluran, seolah-olah  mengganti siaran itu adalah dosa. 
 

  


Entah mengapa, ketika era televise datang dan Pak Kyai  hadir secara visual, rasanya ada yang berubah. Zainuddin tidak ‘menggetarkan’ seperti halnya ketika ia hadir dalam bentuk audio. Retorika yang hebat, kreatif, intonasi yang khas tetap ada,  tetapi Pak Kyai rupanya tidak ‘camera face’.  Tentu saja, ini bukan salah Pak Haji, tapi mental penonton sudah terbentuk bahwa ada unsur estetis yang seolah wajib dipenuhi jika ingin menarik audiens di televisi.  Zainuddin MZ, mengalamai ‘character contamination’ ketika mulai berpolitik.

Sandiwara Radio: dari kuping turun ke hati.
Jika anda produk 70-an dan 80-an dan tidak tinggal di kota besar, kemungkinan besar anda pernah terkontaminasi polusi sandiwara radio.  Siapa yang tidak kenal Brama  Kumbara?  Sembara dengan cambuk kilatnya?  Siapa pula yang tidak merinding dengan kikik Mak Lampir?  Mantili dengan pedang setan dan perak?  Lasmini yang dicitrakan sebagai seorang antagonis yang cantik bahenol, genit dan sakti mandraguna.  Tentang Mak Lampir saya sering bertanya; mengapa nenek siluman yang jahat itu begitu sering tertawa?  Seorang periang seperti dia tidak seharusnya seorang jahat. 

Saya hanya bisa mengingat sebagian dari Sandiwara itu . Saur Sepuh, Babad Tanah Leluhur, Api di Bukit Menoreh, Turut Timular, Misteri Gunung Merapi.  Yang aneh, atau unik, semua sandiwara bertabur iklan obat, biasanya juga obat sakit kepala, penyakit kulit dan maag.
Alhasil, waktu pulang sekolah, setelah makan siang waktunya mantengin “Misteri Gunung Merapi”. Sore hari sekitar jam 5, atau waktu pulang sekolah sore, ada Saur sepuh”.  Dan di awal 90-an, ada Tutur Tinular jam 08 malam.

Ketika pertama kali mengenal radio,  saya menganggapnya sebagai alat yang cukup canggih.  Tidak ada lagi alat yang lebih canggih, yang memakai baterai, selain jam, senter dan amplifier di mesjid.   Intinya, kalau anda punya radio,  berarti anda juga  konsumen sumber energi  yang paling popular dan praktis di jamannya, batu baterai.
Kalau ibu-ibu membeli baterai di kedai, keluahannya umumnya sama, “ini gara-gara anak-anak kebanyakan dengar sandiwara radio”.

Harga sebiji baterai besar ukuran A di tahun 80’an berkisar  Rp. 600,-, setara dengan sebungkus rokok atau seliter gula pasir. Jadi bukan hal murah untuk menghidupi sebuah radio yang, katakanlah,  memakai 4 baterai. 

Namun, selalu ada cara untuk berhemat. Yang agak logis adalah mengatur pemakaian radio. Radio hanya diaktifkan pada jam-jam tertentu. 
Cara lain yang agak menggelikan ada juga. yang paling sering dijumpai adalah menjemur baterai di terik matahari.  Entah dari mana asalnya teori bahwa dengan panas matahari, tenaga baterai akan pulih secara terbatas.  Yang lebih menggelikan adalah dengan memukul-mukul baterai hingga tidak jelas lagi bentuknya . Yang ini jelas tidak bisa dirasionalisasi. 

Kapitan Abbas



Ada yang ingat seseorang bernama Abbase? 
Saya ingin mengenangnya dan saya ingin memanggilnya Kapiten Abbas.
Kapiten Abbas muncul dan memasuki memori saya pada suatu sore di musim kemarau, di tahun 1988 (mudah-mudahan tidak keliru). Hari itu berlangsung  pertunjukan akrobat motor dengan berbagai aktraksi. Sejauh yang bisa saya ingat, inilah satu-satunya event terbesar yang melibatkan banyak motor sport, yang pernah digelar di Sailong. Diantara banyak aksi akrobatik, salah satu  yang paling tetrikal adalah aksi  melompati dan menerobos cincin api. 

Dan sore itu,  Abbas adalah seorang superstar. Seorang acrobat senior bernama Agus baru saja menyelesaikan lompatan yang menegangkan dan menerobos kobatan cincin api, ketika dari utara lapangan muncul seorang tua berlari menuju landasan. Tak ada yang berusaha menghalangi Abbas, juga tak satupun yang tahu rencananya.  Begitu menjejak landasan, Abbas memutar badan dan menanjaki landasan sambil berlari mundur.  Di ujung landasan yang tingginya kira-kira 2,5 meter, Abbas berbalik dan dengan momentum yang tepat ia menerobos cincin api. Cincin api yang masih menyala. Ia mendarat sempurna di kaki, meski peci tentara veterannya terpelanting.  Buru-buru Abbas memungut pecinya, berdiri tegak,  dan melambai ke penonton,  laksana seorang atlet yang baru memecahkan rekor.  Penonton bergemuruh, dan Abbas semakin mengukuhkan diri sebagai seorang sinting.  Sinting dalam arti yang sebenarnya.

Setelah itu, saya melihat Abbas ada di setiap keramaian.  Di acara 17-an, di pesta panen, di pertandingan Volly, bahkan di pasar.   Abbas diam-diam telah menjadi maskot tak resmi setiap keramaian. Tapi sebagai anak kecil, naluri saya mengatakan,  “tidak aman berada di radius 10 meter dari Abbas”.  Tindakannya bisa saja tidak sesuai dengan fungsi otaknya. 

Hingga kini saya tidak mafhum hubungan  antara masa lalunya dengan setelan gayanya yang militeristis. Yang jelasnya,kalau melihat setelannya, saya teringat dengan Jenderal Soedirman atau Bung Tomo.  Satu setelan lengkap khas veteran, kumis melintang, plus tongkat dua jengkal di sandangnya. Konon, tongkat itu berisi  pisau. Belakangan, kalau teringat Abbas, saya juga ingat lirik lagu anak-anak “aku seorang kapiten, mempunyai pedang panjang, kalau berjalan prok… prok.. prok…”. 

Mengingat Abbas, saya  juga teringat dengan tokoh Don Quixote de la Mancha dalam novel The Adventure of Don Quixote.  Don Quixote adalah seorang tua yang selalu menganggap dirinya seorang kesatria (warrior) yang akan berkelana melawan semua kejahatan.  Dengan berkendara seekor keledai, ia berkeliling Spanyol  untuk menantang lawan-lawannya. Ia berkelahi dengan kincir angin yang ia anggap raksasa jahat.  Di suatu petang, ia pulang ke kampungnya dengan bangga, karena merasa telah mengalahkan matahari, sosok paling jahat dalam imaginasinya.

Saya selalu penasaran,  sebenarnya apa yang ada dalam pikiran kapiten renta ini?   Bisa jadi ia pernah berambisi menjadi serdadu dan kandas. Atau mungkinkah ia pernah menjadi korban militerisme akut?

Sudah hampir dua puluh tahun sejak terakhir kali melihat Abbas.  Kalau dia masih hidup, sudah pasti ia sudah sangat tua.  Tapi kehadiran Abbas masih menyisakan  pertanyaan di benak saya. Saya pernah mempelajari teori Psikoanalisa-nya Sigmund Freud, dan saya setuju bahwa perilaku sesorang  sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya.  Jadi pengalaman militeristik seperti apa yang telah dialami seorang Abbase?

Tantangan Bagi Perlindungan Keselamatan & Kesehatan Kerja di Indonesia

Tanggal 12 Januari lalu, Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja Nasional (Hari K3 Nasional) diperingati hampir tanpa publikasi. Di televisi, koran, media online, gema peringatannya tidak terdengar sama sekali.  Rupanya, perihal K3 bukanlah isu yang cukup menarik bagi media. Hari K3 Nasional ditetapkan melalui keputusan menteri sejak tahun 1990, didasarkan pada tanggal ketika   Willem Frederik Idenburg, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, memberlakukan Veiligheidsreglement di tahun 1910. Veiligheidsreglement adalah cikal bakal dari UU No 1 Tahun 1970 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Sejak tahun 2010, Departemen Ketenagakerjaan dan Transmigrasi  mencanangkan Bulan K3 Nasional (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), yang dilaksanakan selama sebulan penuh dari tanggal 12 Januari hingga 12 Februari.  Selama periode tersebut, Instansi ketenagakerjaan berusaha mendorong kampanye keselamatan dan kesehatan kerja. Event ini, meski belum begitu massif skalanya, namun pemerintah tampak kian berusaha mengorganisir acaranya dengan lebih baik.
Di sisi lain, di level internasional tanggal 24 April telah ditetapkan sebagai Hari Keselamatan Kerja se-Dunia, World Day of Safety at Work. Hari ketika serikat buruh di Kanada pada tahun 80-an, memperingati kematian  sejumlah pekerja yang meninggal akibat kecelakaan kerja.  Gerakan ini telah mendunia selama  2 dekade terakhir, yang mendorong ILO untuk mengadopsinya menjadi agenda tahunan.
Isu keselamatan  dan kesehatan kerja, telah menjadi isu yang kian berkembang seiring dengan kompleksitas dunia industri dan ketenagakerjaan.  Jargon-jargon seperti ‘Safety First, Utamakan Keselamatan’ hampir selalu ditemui diberbagai perusahaan, terutama di bidang konstruksi dan manufaktur.  

K3 dalam lintasan Sejarah
 Perihal keselamatan kerja sejatinya bukanlah sesuatu yang  baru dalam manajemen perusahaan dan hubungan ketenagakerjaan.  Keberadaannya jauh membentang di rentang sejarah.  Di jaman Babilonia kuno, 2000 tahun sebelum masehi, tertulis dalam Code of Hammurabi, bahwa ada hukuman bagi seorang penyelia (supervisor) atas cedera yang diderita pekerjanya.  Hukumannya dipastikan akan membuat para pengawas bergidik. Jika seorang pekerja kehilangan tangannya akibat kesalahan supervisor, maka tangan supervisor akan diambil untuk menggantikan tangan sang pekerja.
Beberapa ratus tahun sebelum masehi, Mesir dan Yunani kuno telah mengenal beberapa peringatan keselamatan kerja (safety pre-caution) pada beberapa pekerjaan seperti pekerjaan peleburan logam, pemotongan batu, dan lain-lain. 
Revolusi Industri di eropa mendorong munculnya lahirnya berbagai undang-undang terkait perlindungan keselamatan kerja. Lalu kolonialisme membawanya  melintasi samudera dan benua ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di akhir abad 19, pemerintah Hindia Belanda telah memberlakukan sejumlah peraturan yang bersifat represif untuk melindungi pekerja dan mencegah kecelakaan yang berpotensi merugikan perusahaan-perusahaan yang ada. 
Seiring dengan kemajuan di sector pertanian dan pertambangan, pemerintah  Hindia Belanda menerbitkan "Veiligheids Reglement", Undang-Undang Keselamatan kerja pada tahun 1905. Inilah yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya Undang-Undang No. 1  Tahun 1970 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 
Lahirnya  UU No 1 Tahun 1970 ,  yang diikuti dengan banyak peraturan pelaksanaan , adalah produk hukum dengan pendekatan baru, dari respresif menjadi pendekatan yang juga menekankan pentingnya pembinaan.  Hal ini ditandai dengan sejumlah pasal yang mewajibkan  perusahaan untuk  memiliki organ yang  bertugas  untuk mengawasi dan melakukan pembinanan K3 di masing-masing perusahaan. 

Kini, 30 tahun setelah UU No 1/1970 disahkan, meskipun terdapat sejumlah kemajuan dalam hal K3  di Indonesia, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja masih tetap memprihatinkan.
Pada tahun 2010, Jamsostek melaporkan jumlah kecelakaan kerja sebanyak 47,919 kasus. Dari angka tersebut, 7,965 orang meninggal dunia, sisanya menderita luka ringan dan berat/cacat.  Hal ini juga mengakibatkan hilangnya ratusan juta jam kerja produktif serta keharusan membayar klaim asuransi hingga Rp. 150.987 trilyun.
Angka ini hanyalah berasal dari kasus-kasus yang dilaporkan, dengan pengertian bahwa dengan menggunakan teori ‘iceberg’, bisa jadi jauh lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Angka ini diyakini mengalami fluktuasi kecil seiring dengan perkembangan teknologi dan metode kerja yang membawa resiko yang semakin beragam. Di seluruh dunia, data dari ILO pada tahuun 2005, diperkirakan 2.2 orang meninggal dunia akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja. 
Di sisi lain, sejumlah perusahaan besar yang telah berhasil menerapkan manajemen K3 yang baik, harus diapresiasi. Banyak perusahaan yang berhasil mencanangkan dan mencapai target ‘Zero Accident’. Meskipun jika dilihat, bahwa komitmen perusahaan-perusahan tersebut sangat dipengaruhi oleh  dorongan dari pihak/faktor yang terkait dengan  operasi bisnisnya.
Banyak dari perusahaan tersebut yang merupakan perusahaan go public/go international yang berkepentingan dengan image sebagai perusahaan yang mengedepankan K3. Beberapa yang lain memiliki klien atau konsumen berupa perusahaan besar asing yang berkepentingan dengan kinerja K3 yang baik.

 Ada banyak faktor yang turut mempengaruhi perkembangan K3 modern.  James V. Findlay, Raymond L. Kuhlman dalam Leadership in Safety mengungkap antara lain; Unions, Consumers, Courts, Technology, Workforce Change, Laws, Inflation, Medical Research, dan Energy. Kuhlman dan Findlay berkesimpulan bahwa faktor-faktor tersebut telah mengalami dinamika dan kemajuan yang pesat mendorong kemajuan dan perbaikan dalam hal K3  modern di negara-negara maju. 
Karena itu, untuk melihat dinamika K3 di Indonesia dengan mencoba mengurai faktor-faktor tadi dalam konteks Indonesia.

Unions atau organisasi pemangku kepentingan. 
Serikat Buruh, LSM, pakar, termasuk dari kalangan pemilik modal, adalah diantara pemangku kepentingan di bidang K3.  Di banyak negara,  upaya bargaining kolektif telah memainkan peran penting dalam perkembangan K3.  Peran sejumlah organisasi telah bukti bukan hanya dalam negosiasi, riset K3 dan lobby bagi legislasi K3. 
Di Indonesia, organisasi semacam itu belumlah terkonsolidasi dengan baik dalam isu K3. Serikat buruh kita masih berkutat dengan isu UMR, out-sourcing, dan isu-isu ‘livelihood’ pada  dasarnya. Hal serupa akan kita jumpai pada LSM dan kalangan pengusaha. Hanya ada sejumlah praktisi K3 profesional dan akademisi dalam jumlah terbatas dan tidak terkonsolidasi dengan baik, yang selama ini cukup rajin menyuarakan perlu terus memperbaiki aspek K3 pada dunia industri.  Masalah K3 tidak pernah kita dengar menjadi   isu di area politik, setidaknya setelah UU No 1 Tahun 1970 disahkan pemerintah.
Pada tahun 2005, ILO merilis sebuah hasil studi bahwa lebih dari 80% perusahaan dengan serikat pekerja yang  terorganisir baik, menerapkan aturan K3  dengan sangat baik.  Di lain pihak, hanya 54% perusahaan yang tidak memiliki serikat buruh, yang mampu mencapai kondisi serupa.

Konsumen
Faktor ini sebenarnya lebih banyak berorientasi pada produk ketimbang proses, yang juga berarti bahwa aspek keselamatan dan kesehatan yang dimaksud adalah untuk para konsumen dan bukanlah untuk pekerja. Jadi faktor ini pada prakteknya lebih relevan untuk perusahaan manufaktur dan jasa. 
Alvin Toffler  dalam The Adaptive Corporation mengamati bahwa perusahaan telah beradaptasi dengan kemunculan konsumerisme baru.  Dalam konsumerisme baru ini, bukan konsumen yang kaya yang akan mempengaruhi kemajuan usaha, tetapi konsumen dari masyarakat yang pintar dan tercerahkan.
Konsumerisme baru ini telah meningkatkan kepedulian terhadap bahaya suatu produk terhadap manusia. Sejumlah produk yang sebelumnya beredar dengan luas, kini telah dinyatakan terlarang.
Di Indonesia, kesadaran konsumen terhadap aspek Keselamatan dan Kesehatan  sebuah produk masih sangat rendah.  Data YLKI pada tahun 2010 setidaknya mencerminkan hal ini.  Catatan YLKI menunjukan, pengaduan konsumen didominasi oleh jasa telekomunikasi sebanyak 93 kasus (22,4 persen), jasa perbankan 79 kasus (19 persen), sektor perumahan 75 kasus (18 persen), ketenagalistrikan 75 kasus (18 persen) dan jasa transportasi 35 kasus (8,7 persen).

Pengadilan
Seiring dengan kesadaran publik yang semakin baik tentang K3, maka gugatan, tuntutan ganti rugi dan  juga mengalami peningkatan di pengadilan. Dengan adanya sejumlah pengadilan yang mewajibkan perusahaan membayar ganti rugi  terkait dengan masalah K3 yang timbul, menimbulkan efek bola salju yang menjadikan ‘Manajemen K3’ sebagai faktor yang kritikal dalam perusahaan.
Di Indonesia,ada beberapa yurisprudensi yang bisa dijadikan contoh dalam hal ini. Kasus yang terakhir yang dapat dijadikan contoh disini adalah kebakaran di basement sebuah swalayan besar  di Senayan beberapa tahun lalu, yang merenggut nyawa beberapa orang karyawan.  Putusan pengadilan menetapkan bahwa terdapat kesalahan di level manajemen, dan karenanya harus ada pertanggung jawaban pidana, selain ganti rugi bagi korban.
Namun demikian, yurisprudensi semacam ini belum memberi dampak efek jera bagi perusahaan/pengusaha lain. 

Teknologi
Sebagaimana di seluruh dunia, teknologi telah mengubah dengan sangat signifikan cara umat manusia mengolah alam dengan lebih efisien, namun mendatang resiko-resiko baru (terkadang lebih dahsyat) terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Karenanya modernisasi ini juga meniscayakan masuknya aspek K3 dalam manajemen modern.  
Modernisasi alat dan metode kerja juga terjadi di Indonesia, yang dalam banyak kasus tidak disertai dengan pemahaman yang utuh dengan resiko dan bahaya yang menyertainya. 

Hukum/Undang-Undang
Dari sisi perundang-undangan, Indonesia telah memiliki  daftar panjang aturan hukum di bidang K3, yang juga telah diakui oleh internasional. Sejak UU No 1/1970 diundangkan, dengan cepat berbagai aturan pelaksana dibuat oleh pemerintah.  Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan.  
Hanya saja, senasib dengan berbagai aturan perundang-undangan yang lain, implementasinya lemah. Sejatinya produk legislasi tersebut digunakan  untuk mencegah berbagai pengabaian terhadap aspek keselamatan kerja. Tapi yang kita saksikan, pemerintah masih membiarkan perusahaan dengan catatan K3 yang buruk untuk tetap hidup, dan hal ini memberi contoh buruk pada perusahaan lain  untuk ‘santai saja’ dengan urusan K3, dan bahwa praktek semacam itu dapat ditoleransi.

Pergeseran Tenaga Kerja
Karakter tempat kerja telah menglamai perubahan dalam 1 dekade terakhir.  Regulasi  menuntut adanya peluang kerja tanpa bias, dan meningkatnya kebutuhan finansial keluarga, telah mendorong  wanita lebih berani dan leluasa di lingkungan kerja, pada bidang yang sebelumnya ekslusif bagi pria. Selain itu, tenaga kerja semakin lama semakin terdidik dan memiliki akses informasi yang lebih baik, dan mereka berharap lebih banyak dari pekerjaan, lebih dari sekedar penghasilan.  Fakta-fakta ini menghadirkan  tantangan dan tunturan baru dalam managemen K3. 
Kini jumlah pekerja wanita di sector formal meningkat berlipat dari dekade-dekade sebelumnya. Kini di Indonesia, diperkirakan lebih dari 50% angkatan kerja adalah  wanita, baik di sektor formal maupun non-formal.

Lemahnya Supervisi & Kendala SDM
Menurut UU No.1/1970, pengawasan implementasi K3 dilakukan oleh Pengawas dan Ahli K3.  Pengawas K3 berasal dari kalangan Depnakertrans, sedangkan Ahli K3 berasal dari perusahaan yang disertifikasi dan ditunjuk oleh Depnakertrans. Namun keduanya punya problematikanya sendiri-sendiri.
Pengawas K3 dari kalangan Depnakertrans sangat terbatas jumlahnya. Di level kota/kabupaten, jumlahnya antara 2 hingga 5 orang. Bisa dibayangkan, bagaimana para pengawas itu melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang ada. Kondisinya bisa jadi lebih mengenaskan jika mengingat mental aparat pemerintah yang sangat lemah dari godaan suap.
Akan halnya dengan Ahli K3, masalahnya tidak kalah pelik. Kini pemerintah terus memacu proses sertifikasi dan pengangkatan Ahli K3. Setiap bulan,  setidaknya ratusan Ahli K3 ditelurkan dari proses pelatihan dan sertifikasi, yang dalam banyak kasus, tidak bisa dipertanggungjawabkan kompetensinya.  Bukan rahasia  bahwa kebijakan massifikasi penunjukan Ahli K3 ini telah menjadi lahan bisnis bagi penyedia jasa pelatihan K3.
Bukan hanya itu problematika Ahli K3. Para Ahli K3 dituntut untuk melakukan pengawasan K3 terhadap perusahaan tempat ia bekerja, dan ini berarti harus bersikap secara kritis terhadap manajemen perusahaanya sendiri.  Karena itu, efektifitas pengawasan oleh Ahli K3 sangat tergantung pada dukungan dan komitmen perusahaan tempat ia bekerja.   

Pemerintah telah mencanangkan Visi Indonesia Berbudaya K3 Tahun 2015, yang nampaknya sangat berat untuk dicapai mengingat banyaknya persoalan yang mesti diatasi dalam waktu singkat.  Budaya K3 sendiri, mengacu pada kesimpulan Konferensi Buruh Internasional 2003, adalah kondisi dimana hak untuk mendapatkan lingkungan kerja yang aman dan sehat, dihormati oleh semua kalangan.  Budaya dimana pemerintah, perusahaan dan pekerja berpartisipasi aktif dalam sebuah sistem yang mengatur hak, tanggungjawab dan kewajiban masing-masing pihak dalam mencegah kecelakaan.
Tahun 2015 tampaknya belum akan menghadirkan Indonesia yang berbudaya K3, yang sudah pasti  ada adalah tugas bersama untuk membangun pra-kondisinya.  Tugas itu perlu diemban  secara tripartit oleh pemerintah, perusahaan dan pekerja. 
Kita memerlukan pemerintah yang memiliki kapasitas memadai,  komitmen dan konsitensi untuk menerapkan hukum di bidang K3. Kalangan pengelola perusahaan juga dituntuk kesadaran dan kepatuhan hukumnya, berdampingan dengan perasaan kemanusian bahwa para buruh bekerja untuk kehidupannya, dan  tidak seharusnya pekerjaan membawa kematian.  Para pekerja juga perlu menyadari bahwa keselamatan dan kesehatan di tempat kerja adalah hak yang dilindungi  undang-undang.  

Yang Pertama

Inilah tulisan awal dari blog ini. 
Mudah-mudahan saya bisa belajar dan mengaktifkan blog ini.