Senin, 09 Januari 2012

Era Radio Transistor di Sailong


Di Sailong,  pada  sepanjang tahun 80-an hingga awal 90-an, berlangsung sebuah era, yang saya sebut Era Radio Transistor. Penyebutan ini mengacu pada kegandrungan mode komunikasi para warga sailong.  Inilah era transisi menjelang kedatangan era televisi, dan kemudian era telefon seluler yang revolusioner.

Medio 80-an dan awal 90-an adalah era Radio. Dan radio pada jaman itu di Sailong, dapat dijelaskan cukup dengan empat kata; As’adiyah, zainuddin, sandiwara, dangdut.
Dipancarkan di frekuensi AM 864 KHz, As’adiyah adalah gelombang kesejukan nan damai di udara. Mungkin lebih dari 60% siarannya adalah dakwah, konsisten dengan spirit organisasi induknya. Bersaing dengan Radio Bambapuang AM 882 KHz, As’adiyah adalah raja di udara Sailong. Entah karena warga Sailong senang dakwah, atau karena As’adiyah yang paling kuat sinyalnya, yang jelas As’adiyah adalah siaran yang paling banyak didengar.  Radio Suara Damai Indah (SDI) di Bone, yang beroperasi di Frekuensi tinggi 1368 KHz, dengan susah payah menembus atmosfir Sailong. Kurasa karena itulah, ia tidak banyak peminat.
Soal Zainuddin MZ, No question.  Dialah da’i paling kondang seantero nusantara, dia da’i berjuta-juta jumat.  Setidaknya lima kali sehari, radio-radio memancarkan suara ‘Pak Haji’ dan begitu suaranya terdengar di radio, tak ada yang berniat mengganti saluran, seolah-olah  mengganti siaran itu adalah dosa. 
 

  


Entah mengapa, ketika era televise datang dan Pak Kyai  hadir secara visual, rasanya ada yang berubah. Zainuddin tidak ‘menggetarkan’ seperti halnya ketika ia hadir dalam bentuk audio. Retorika yang hebat, kreatif, intonasi yang khas tetap ada,  tetapi Pak Kyai rupanya tidak ‘camera face’.  Tentu saja, ini bukan salah Pak Haji, tapi mental penonton sudah terbentuk bahwa ada unsur estetis yang seolah wajib dipenuhi jika ingin menarik audiens di televisi.  Zainuddin MZ, mengalamai ‘character contamination’ ketika mulai berpolitik.

Sandiwara Radio: dari kuping turun ke hati.
Jika anda produk 70-an dan 80-an dan tidak tinggal di kota besar, kemungkinan besar anda pernah terkontaminasi polusi sandiwara radio.  Siapa yang tidak kenal Brama  Kumbara?  Sembara dengan cambuk kilatnya?  Siapa pula yang tidak merinding dengan kikik Mak Lampir?  Mantili dengan pedang setan dan perak?  Lasmini yang dicitrakan sebagai seorang antagonis yang cantik bahenol, genit dan sakti mandraguna.  Tentang Mak Lampir saya sering bertanya; mengapa nenek siluman yang jahat itu begitu sering tertawa?  Seorang periang seperti dia tidak seharusnya seorang jahat. 

Saya hanya bisa mengingat sebagian dari Sandiwara itu . Saur Sepuh, Babad Tanah Leluhur, Api di Bukit Menoreh, Turut Timular, Misteri Gunung Merapi.  Yang aneh, atau unik, semua sandiwara bertabur iklan obat, biasanya juga obat sakit kepala, penyakit kulit dan maag.
Alhasil, waktu pulang sekolah, setelah makan siang waktunya mantengin “Misteri Gunung Merapi”. Sore hari sekitar jam 5, atau waktu pulang sekolah sore, ada Saur sepuh”.  Dan di awal 90-an, ada Tutur Tinular jam 08 malam.

Ketika pertama kali mengenal radio,  saya menganggapnya sebagai alat yang cukup canggih.  Tidak ada lagi alat yang lebih canggih, yang memakai baterai, selain jam, senter dan amplifier di mesjid.   Intinya, kalau anda punya radio,  berarti anda juga  konsumen sumber energi  yang paling popular dan praktis di jamannya, batu baterai.
Kalau ibu-ibu membeli baterai di kedai, keluahannya umumnya sama, “ini gara-gara anak-anak kebanyakan dengar sandiwara radio”.

Harga sebiji baterai besar ukuran A di tahun 80’an berkisar  Rp. 600,-, setara dengan sebungkus rokok atau seliter gula pasir. Jadi bukan hal murah untuk menghidupi sebuah radio yang, katakanlah,  memakai 4 baterai. 

Namun, selalu ada cara untuk berhemat. Yang agak logis adalah mengatur pemakaian radio. Radio hanya diaktifkan pada jam-jam tertentu. 
Cara lain yang agak menggelikan ada juga. yang paling sering dijumpai adalah menjemur baterai di terik matahari.  Entah dari mana asalnya teori bahwa dengan panas matahari, tenaga baterai akan pulih secara terbatas.  Yang lebih menggelikan adalah dengan memukul-mukul baterai hingga tidak jelas lagi bentuknya . Yang ini jelas tidak bisa dirasionalisasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar