Senin, 09 Januari 2012

Kapitan Abbas



Ada yang ingat seseorang bernama Abbase? 
Saya ingin mengenangnya dan saya ingin memanggilnya Kapiten Abbas.
Kapiten Abbas muncul dan memasuki memori saya pada suatu sore di musim kemarau, di tahun 1988 (mudah-mudahan tidak keliru). Hari itu berlangsung  pertunjukan akrobat motor dengan berbagai aktraksi. Sejauh yang bisa saya ingat, inilah satu-satunya event terbesar yang melibatkan banyak motor sport, yang pernah digelar di Sailong. Diantara banyak aksi akrobatik, salah satu  yang paling tetrikal adalah aksi  melompati dan menerobos cincin api. 

Dan sore itu,  Abbas adalah seorang superstar. Seorang acrobat senior bernama Agus baru saja menyelesaikan lompatan yang menegangkan dan menerobos kobatan cincin api, ketika dari utara lapangan muncul seorang tua berlari menuju landasan. Tak ada yang berusaha menghalangi Abbas, juga tak satupun yang tahu rencananya.  Begitu menjejak landasan, Abbas memutar badan dan menanjaki landasan sambil berlari mundur.  Di ujung landasan yang tingginya kira-kira 2,5 meter, Abbas berbalik dan dengan momentum yang tepat ia menerobos cincin api. Cincin api yang masih menyala. Ia mendarat sempurna di kaki, meski peci tentara veterannya terpelanting.  Buru-buru Abbas memungut pecinya, berdiri tegak,  dan melambai ke penonton,  laksana seorang atlet yang baru memecahkan rekor.  Penonton bergemuruh, dan Abbas semakin mengukuhkan diri sebagai seorang sinting.  Sinting dalam arti yang sebenarnya.

Setelah itu, saya melihat Abbas ada di setiap keramaian.  Di acara 17-an, di pesta panen, di pertandingan Volly, bahkan di pasar.   Abbas diam-diam telah menjadi maskot tak resmi setiap keramaian. Tapi sebagai anak kecil, naluri saya mengatakan,  “tidak aman berada di radius 10 meter dari Abbas”.  Tindakannya bisa saja tidak sesuai dengan fungsi otaknya. 

Hingga kini saya tidak mafhum hubungan  antara masa lalunya dengan setelan gayanya yang militeristis. Yang jelasnya,kalau melihat setelannya, saya teringat dengan Jenderal Soedirman atau Bung Tomo.  Satu setelan lengkap khas veteran, kumis melintang, plus tongkat dua jengkal di sandangnya. Konon, tongkat itu berisi  pisau. Belakangan, kalau teringat Abbas, saya juga ingat lirik lagu anak-anak “aku seorang kapiten, mempunyai pedang panjang, kalau berjalan prok… prok.. prok…”. 

Mengingat Abbas, saya  juga teringat dengan tokoh Don Quixote de la Mancha dalam novel The Adventure of Don Quixote.  Don Quixote adalah seorang tua yang selalu menganggap dirinya seorang kesatria (warrior) yang akan berkelana melawan semua kejahatan.  Dengan berkendara seekor keledai, ia berkeliling Spanyol  untuk menantang lawan-lawannya. Ia berkelahi dengan kincir angin yang ia anggap raksasa jahat.  Di suatu petang, ia pulang ke kampungnya dengan bangga, karena merasa telah mengalahkan matahari, sosok paling jahat dalam imaginasinya.

Saya selalu penasaran,  sebenarnya apa yang ada dalam pikiran kapiten renta ini?   Bisa jadi ia pernah berambisi menjadi serdadu dan kandas. Atau mungkinkah ia pernah menjadi korban militerisme akut?

Sudah hampir dua puluh tahun sejak terakhir kali melihat Abbas.  Kalau dia masih hidup, sudah pasti ia sudah sangat tua.  Tapi kehadiran Abbas masih menyisakan  pertanyaan di benak saya. Saya pernah mempelajari teori Psikoanalisa-nya Sigmund Freud, dan saya setuju bahwa perilaku sesorang  sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya.  Jadi pengalaman militeristik seperti apa yang telah dialami seorang Abbase?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar